Umar bin Khattab Sangat Istimewa
BANYAK riwayat yang menggambarkan keistimewaan Umar bin
Khattab di hadapan Rasulullah SAW, antara lain adalah:
Dari Uqbah bin Amir, Rasulullah bersabda, ”Andaikata setelah aku
terdapat seorang nabi, dia adalah Umar.” (HR Ahmad, Tirmidzi, al-Hakim, Ibn
Syahin)
Amr ibn Ash bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling
kau cintai?” Rasulullah menjawab, “Aisyah.” Lalu siapakah lelaki yang paling
kau utamakan?” Beliau menjawab, “Ayah Aisyah (Abu Bakar).” Aku lanjut bertanya,
“Lalu siapa lagi, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Umar ibn Khattab.”
Setelah itu Rasulullah menyebut nama sahabat lainnya. (HR Bukhari)
Rasulullah bersabda, “Suatu malam aku bermimpi. Beberapa orang
mendatangiku sambil membawa baju. Di antara mereka ada yang bajunya sampai
menutupi dada, di antara yang lain ada yang melebihinya. Umar ibn Khattab
menghadapku sambil menyodorkan baju, dan aku pun menerima baju pemberian Umar.”
Para sahabat bertanya, “Apakah takwilnya, wahai Rasulullah?” Rasul menjawab,
“Itu adalah perlambang dari agama.” (HR Bukhari)
Rasulullah bersabda, “Ketika tidur, aku bermimpi melihat surga.
Mendadak kulihat seorang perempuan tengah berwudhu di samping istana. Aku pun
bertanya-tanya, milik siapakah istana ini? Para ahli surga menjawab, “Istana
ini milik Umar.” Ketika mendengar cerita itu, Umar menangis, lalu berkata,
“Apakah kau hanya akan memiliki gua, wahai Rasulullah?” (HR Bukhari)
Jalan Kaki ke
Yerusalem
Pada 637 Masehi, Umar ibn Khattab berkunjung ke Yerusalem. Perjalanan
itu dia lakukan dalam rangka memenuhi permintaan Uskup Sophronius untuk serah-terima
kota Yerusalem. Sebelumnya, kota suci itu berstatus tanah sengketa antara
Kekaisaran Byzantium (Romawi Timur) yang beribukota di Konstantinopel
(Istanbul) dengan Kekhalifahan Rasyidin yang berpusat di Madinah.
November 636 M, dipimpin Abu Ubaidah pasukan muslim berhasil
mengepung Yerusalem (Ahmad D. Marimba, Rangkaian Cerita dari Sejarah Islam,
1962: 59). Pengepungan berlangsung selama enam bulan sebelum akhirnya Uskup
Sophronius angkat tangan, menyerah kalah. Namun Sophronius hanya bersedia
menyerahkan hak atas Yerusalem langsung kepada Umar bin Khattab.
Di kota yang dianggap suci oleh para penganut tiga agama sawami (Yahudi, Kristen,
Islam) itu terdapat Gereja Makam Kudus. Sophronius adalah pemegang otoritasnya,
baik secara agama maupun politik,
mewakili Kekaisaran Byzantium.
Mendengar kabar bahwa Sophronius ingin bertemu langsung dengannya, Umar segera mempersiapkan seekor unta untuk berangkat. Dia meminta Aslam, seorang hamba yang telah dimerdekakannya, untuk menemani perjalanannya. Karena hanya membawa seekor unta, maka Umar dan Aslam menaikinya secara bergantian.
Saat hendak memasuki Kota Yerusalem, Umar mendapat giliran berjalan
kaki. Aslam memohon kepada tuannya (Umar), agar menggantikan gilirannya untuk
menaiki unta demi menjaga wibawa sebagai pemimpin besar yang datang untuk
mengambil-alih kota suci. Namun Umar menolak karena saat itu Aslamlah yang memiliki
jatah giliran naik unta. Maka Umar tetap bejalan kaki, dan Aslam tetap di atas
unta.
Memasuki pintu gerbang kota, penduduk Yerusalem bergegas menyambut dan memberi hormat kepada orang yang duduk di atas unta itu. Mereka mengira Aslam adalah sang khalifah, sedangkan Umar pengawalnya. Tentu saja Aslam merasa canggung, dan segera mengatakan, bahwa ia bukanlah khalifah yang dimaksud. Ia jelaskan, bahwa lelaki berbadan kekar berpakaian sederhana yang berjalan kaki di sampingnya itulah sang Khalifah Umar bin Khattab.
Uskup Sophronius tergopoh-gopoh
menyambut Umar bin Khattab. Pemimpin Church of the Holy Sepulchre (Gereja
Makam Kudus) itu terkejut begitu melihat sosok Umar. Pakaiannya amat
sederhana, bahkan tambal-sulam penuh jahitan, tak seperti yang dibayangkan
bahwa orang itu adalah khalifah yang amat disegani karena keberaniannya.
Mustafa Murrad dalam tulisannya, Kisah Hidup Umar ibn Khattab (2009), menyebutkan bahwa khalifah kedua setelah wafatnya Nabi Muhammad itu datang ke Yerusalem tanpa iring-iringan pasukan. Uskup Sophronius semakin takjub lantaran Umar berjalan kaki, bersama seekor unta yang justru ditunggangi oleh pengawalnya.
Sama seperti Sophronius, orang-orang Kristiani yang turut menyaksikan kedatangan Umar ikut terperangah. Di depan umatnya itu, Sophronius berucap dengan suara gemetar penuh hormat, “Lihatlah, sungguh ini adalah kesahajaan dan kegetiran yang telah dikabarkan oleh Danial Sang Nabi ketika ia datang ke tempat ini.”
Menolak Shalat di
Gereja
Kunci pintu gerbang Yerusalem pun diserahkan oleh Uskup Sophronius
kepada Umar bin Khtattab. Usai itu, Sophronius mengajak khalifah berjuluk Amir
al-Mu`minin (Pemimpin Orang-orang Beriman) ini berkeliling kota dan memasuki
kompleks Gereja Makam Kudus.
Tepat siang hari, waktu shalat Dhuhur tiba. Uskup Sophronius mempersilakan Umar untuk menunaikan shalat di dalam gereja. Namun Umar menolaknya dengan halus. Penolakan ini bukan terkait dengan hukum boleh atau tidaknya orang Islam menjalankan shalat di tempat ibadah pemeluk agama lain.
“Jika saya mendirikan shalat di dalam gereja ini, saya khawatir orang-orang Islam nantinya akan menduduki gereja ini dan menjadikannya masjid,” demikian alasan Umar (Murrad, 2009 : 96).
Umar menilai Gereja Makam Kudus sangat sakral bagi orang-orang
Nasrani. Umat Kristiani percaya bahwa di situlah Yesus disalibkan dan
dibangkitkan, sehingga tempat itu menjadi tujuan ziarah sejak abad ke-4 Masehi.
Umar meminta Uskup Sophronius untuk menunjukkan lokasi reruntuhan Kuil
Sulaiman atau Kuil Herod. Sophronius pun mengantarkan ke tempat yang terletak
di seberang Gereja Makam Kudus. Umar membersihkan lokasi yang tampak tidak
terawat itu, kemudian menunaikan shalat Dhuhur.
Untuk mengenang peristiwa tersebut, pada 1193 di kawasan Kuil Sulaiman didirikan sebuah masjid benama Masjid Umar (Mosque of Omar) yang dibangun oleh Sultan al-Afdal, putra Sultan Shalahuddin al-Ayyubi, pendiri Dinasti Ayyubiyyah yang menguasai sebagian Timur Tengah dan Mesir.
Sebagian kalangan berpendapat bahwa lokasi dibangunnya Masjid Umar
berbeda dengan tempat di mana Umar bin Khattab menunaikan shalat kala itu.
Masjid ini terletak di sebelah selatan Gereja Makam Suci, sementara prasasti
bekas reruntuhan Kuil Sulaiman (tempat Umar shalat saat itu) berada di sebelah
timur gereja.
Menjamin Keamanan Yerusalem
Usai menunaikan shalat Dhuhur, Umar menyepakati perjanjian dengan
Uskup Sophronius. Isinya, antara lain: Yerusalem takluk kepada kepemimpinan
Islam, namun Umar berjanji akan menjamin keamanan dan keselamatan jiwa dan
harta warga Yerusalem yang kala itu mayoritas beragama Kristen. Gereja-gereja
dan simbol-simbol Kristen lainnya pun dijamin keberadaanya.
Selesai membuat perjanjian tersebut, demi melindungi tempat suci kaum
Kristiani, Umar bin Khattab kemudian menetapkan peraturan yang menyatakan bahwa
umat Islam dilarang menjalankan ibadahnya di gereja.
Untuk meminimalisir potensi konflik antar-umat beragama, Umar membagi wilayah tersebut menjadi empat, yakni untuk orang-orang Armenia, serta para pemeluk Kristen, Yahudi, dan Islam.
Begitulah sekilas sosok Umar bin Khattab: Pemimpin
pemberani yang tidak segan-segan menghunus pedang untuk menghadapi musuh, namun
menyimpan sifat arif dan penuh kasih-sayang. (ali akbar)
Referensi:
-
Mustafa
Murad, Kisah Hidup Umar ibn Khattab,
2009
-
Tamim
Ansary, Dari Puncak Bagdad,
2012
-
Ahmad
D. Marimba, Rangkaian Cerita dari
Sejarah Islam, 1962
-
Karen
Armstrong, Perang Suci: Dari Perang Salib
hingga
Perang Teluk, 2003
-
Jerome
Murphy O’Connor, The Holy Land,
2008
-
Media
Dakwah, 2002
-
Iswara
N Raditya, Alasan Umar bin Khattab
Menolak
Shalat di Gereja, Tirto.id 2018
Comments
Post a Comment